5 Maret 2009. Meningkatnya pertumbuhan konsumsi dunia terhadap mete adalah salah satu peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan produksi mete, utamanya dalam 18 bulan ke depan. Produksi mete Indonesia setiap tahun diperkirakan sebanyak 95 ribu ton dan hanya 20 persen disalurkan untuk kebutuhan dalam negeri, sementara 80 persen di ekspor ke berbagai negara.
Selain itu, masa panen mete di Indonesia berada disaat yang tepat yakni saat negara penghasil lainnya telah melewati masa panen serta dekat dengan negara pengolah, sekaligus produsen dan konsumen yakni India dan Vietnam, kata Konsultan Smallholder Agribusiness Development Initiative (SADI) dari Inggeris, Peter Jaeger PhD di Kendari, Selasa, usai membawakan materi pada lokakarya pengembangan industri mete.
Mete gelondongan Indonesia diterima baik di berbagai pasaran dunia karena memiliki kualitas yang sudah terbukti, walaupun tingkat produksinya berada diposisi kelima setelah Negara India, Vietnam, Brazil dan Afrika Timur. Ini adalah peluang bagi petani mete di Indonesia untuk meningkatkan produksi metenya, sebab pasaran internasional sudah melihat kualitas dan kuantitasnya, katanya.
Untuk menekan angka kemiskinan di Indonesia, sebaiknya hasil mete tidak lagi diekspor dalam bentuk gelondongan tetapi sudah dalam bentuk paket yang siap dipasarkan. Untuk itu, dibutuhkan sarana dan prasarana yang memadai serta Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal, sehingga Indonesia bukan hanya negara pengekspor tetapi juga bisa menjadi negara eksportir seperti India dan Vietnam yang saat ini menjadai negara terbesar eksportir mete di pasaran internasional.
Pihaknya menyebutkan bahwa salah satu negara terbesar pengekspor mete gelondongan ke India, Vietnam dan Brazil adalah Indonesia yang kemudian di negara itulah mete tersebut diolah.
Kadis Perkebunan dan Holtikultura Sultra, Drs Syamsul Bahri mengatakan, jumlah lahan produktif jambu mete di Sultra baru mencapai 91.700 hektare dengan produksi perhektar mencapai 400 kg.
Padahal, potensi lahan pengembangan jambu mete di Sultra seluas 120 ribu hektare, namun karena rendahnya harga pembelian, baik dari pedagang maupun pengusaha menyebabkan petani lebih memilih mengembangkan komoditi lain seperti kakao.
Petani mete di Sulawesi Tenggara (Sultra) hingga kini masih terus tertarik mengolah biji mete gelondongan menjadi kacang mete yang prospek pasar maupun nilai jualnya lebih menjanjikan. Harga biji mete kupas yang siap dikonsumsi dari wilayah Indonesia, saat ini memiliki harga tertinggi dari 25 negara penghasil mete se dunia, karena memiliki kualitas yang terbaik.
Menurut Dosen Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), Dr Ir Rusnadi Padjung MSc, rendahnya produksi mete di Indonesia diakibatkan oleh belum adanya revitalisasi atau peremajaan tanaman yang sudah berumur 30 tahun.
“Pengembangan usaha yang masuk skala industri rumah tangga itu sebenarnya digalakkan sejak hampir 20 tahun lalu, saat Gubernur Sulawesi Tenggara, yang dipimpin Ir H Alala (Almarhum),” kata Kadis Perkebunan dan Hortikultura Sultra, Ir H Ahmad Chaedir, Msi.
Ia mengatakan, pengelolahan atau pengupasan kulit luar dan kulit ari mete gelondongan dengan peralatan sederhana itu, masih banyak dijumpai di beberapa sentra produksi mete seperti di Kabupaten Muna, Buton, Konawe dan Kabupaten Konawe Selatan.
Ia mencontohkan, di sepanjang perjalanan di Kecamatan Napabale hingga ujung Kabupaten Muna bagian selatan serta di Kecamatan Lombe dan Tolandona, Kabupaten Buton, pengolahan kacang mete secara sederhana masih sangat ramai. Peralatan yang digunakan pun sebenarnya masih sangat sederhana yakni sebuah pisau khusus. Hanya saja orang yang menggunakan itu harus trampil karena biji mete tidak boleh terbelah saat dikupas, di samping getahnya ‘kurang bersahabat’ bagi kulit bila pengolahnya tidak berhati-hati.
Kacang mete memiliki harga yang menggiurkan dibandingkan dengan mete gelondongan, sedangkan pemasarannya pun tidak sulit dan terbuka sepanjang tahun. Ditingkat pengelola, harga mete saat ini mencapai Rp35.000 – Rp37.000/kg sementara ditingkat pedagang hingga mencapai Rp40.000/kg bahkan lebih (untuk kualitas super). Sedangkan harga mete gelondongan ditingkat petani hanya berkisar Rp4.500/kg hingga Rp4.600/kg.
Pengelolaan biji mete menjadi kacang mete tersebut sebagian besar dilakukan oleh kaum ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak dengan upah Rp1.000/kg. Sementara upah pengupasan kulit ari hingga mencapai Rp1.500/kg.
“Jadi kita harus bersyukur dengan maraknya industri tradisional pengolahan mete itu akan berdampak pada peningkatan pendapatan petani dan keluarganya. Ini tentu lebih baik dari pada mereka menjual langsung mete gelondongan ke pedagang yang selanjutnya dijual lagi ke industri pengolahan skala besar,” katanya.
Data dari Dinas Perdagangan setempat di Kabupaten Muna, sedikitnya ada 1000 kelompok usaha industri pengolahan mete. Sekitar 85 persen diantaranya masih merupakan pengelola industri yang mengunakan alat sederhana (tradisional).
Selain itu, masa panen mete di Indonesia berada disaat yang tepat yakni saat negara penghasil lainnya telah melewati masa panen serta dekat dengan negara pengolah, sekaligus produsen dan konsumen yakni India dan Vietnam, kata Konsultan Smallholder Agribusiness Development Initiative (SADI) dari Inggeris, Peter Jaeger PhD di Kendari, Selasa, usai membawakan materi pada lokakarya pengembangan industri mete.
Mete gelondongan Indonesia diterima baik di berbagai pasaran dunia karena memiliki kualitas yang sudah terbukti, walaupun tingkat produksinya berada diposisi kelima setelah Negara India, Vietnam, Brazil dan Afrika Timur. Ini adalah peluang bagi petani mete di Indonesia untuk meningkatkan produksi metenya, sebab pasaran internasional sudah melihat kualitas dan kuantitasnya, katanya.
Untuk menekan angka kemiskinan di Indonesia, sebaiknya hasil mete tidak lagi diekspor dalam bentuk gelondongan tetapi sudah dalam bentuk paket yang siap dipasarkan. Untuk itu, dibutuhkan sarana dan prasarana yang memadai serta Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal, sehingga Indonesia bukan hanya negara pengekspor tetapi juga bisa menjadi negara eksportir seperti India dan Vietnam yang saat ini menjadai negara terbesar eksportir mete di pasaran internasional.
Pihaknya menyebutkan bahwa salah satu negara terbesar pengekspor mete gelondongan ke India, Vietnam dan Brazil adalah Indonesia yang kemudian di negara itulah mete tersebut diolah.
Kadis Perkebunan dan Holtikultura Sultra, Drs Syamsul Bahri mengatakan, jumlah lahan produktif jambu mete di Sultra baru mencapai 91.700 hektare dengan produksi perhektar mencapai 400 kg.
Padahal, potensi lahan pengembangan jambu mete di Sultra seluas 120 ribu hektare, namun karena rendahnya harga pembelian, baik dari pedagang maupun pengusaha menyebabkan petani lebih memilih mengembangkan komoditi lain seperti kakao.
Petani mete di Sulawesi Tenggara (Sultra) hingga kini masih terus tertarik mengolah biji mete gelondongan menjadi kacang mete yang prospek pasar maupun nilai jualnya lebih menjanjikan. Harga biji mete kupas yang siap dikonsumsi dari wilayah Indonesia, saat ini memiliki harga tertinggi dari 25 negara penghasil mete se dunia, karena memiliki kualitas yang terbaik.
Menurut Dosen Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), Dr Ir Rusnadi Padjung MSc, rendahnya produksi mete di Indonesia diakibatkan oleh belum adanya revitalisasi atau peremajaan tanaman yang sudah berumur 30 tahun.
“Pengembangan usaha yang masuk skala industri rumah tangga itu sebenarnya digalakkan sejak hampir 20 tahun lalu, saat Gubernur Sulawesi Tenggara, yang dipimpin Ir H Alala (Almarhum),” kata Kadis Perkebunan dan Hortikultura Sultra, Ir H Ahmad Chaedir, Msi.
Ia mengatakan, pengelolahan atau pengupasan kulit luar dan kulit ari mete gelondongan dengan peralatan sederhana itu, masih banyak dijumpai di beberapa sentra produksi mete seperti di Kabupaten Muna, Buton, Konawe dan Kabupaten Konawe Selatan.
Ia mencontohkan, di sepanjang perjalanan di Kecamatan Napabale hingga ujung Kabupaten Muna bagian selatan serta di Kecamatan Lombe dan Tolandona, Kabupaten Buton, pengolahan kacang mete secara sederhana masih sangat ramai. Peralatan yang digunakan pun sebenarnya masih sangat sederhana yakni sebuah pisau khusus. Hanya saja orang yang menggunakan itu harus trampil karena biji mete tidak boleh terbelah saat dikupas, di samping getahnya ‘kurang bersahabat’ bagi kulit bila pengolahnya tidak berhati-hati.
Kacang mete memiliki harga yang menggiurkan dibandingkan dengan mete gelondongan, sedangkan pemasarannya pun tidak sulit dan terbuka sepanjang tahun. Ditingkat pengelola, harga mete saat ini mencapai Rp35.000 – Rp37.000/kg sementara ditingkat pedagang hingga mencapai Rp40.000/kg bahkan lebih (untuk kualitas super). Sedangkan harga mete gelondongan ditingkat petani hanya berkisar Rp4.500/kg hingga Rp4.600/kg.
Pengelolaan biji mete menjadi kacang mete tersebut sebagian besar dilakukan oleh kaum ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak dengan upah Rp1.000/kg. Sementara upah pengupasan kulit ari hingga mencapai Rp1.500/kg.
“Jadi kita harus bersyukur dengan maraknya industri tradisional pengolahan mete itu akan berdampak pada peningkatan pendapatan petani dan keluarganya. Ini tentu lebih baik dari pada mereka menjual langsung mete gelondongan ke pedagang yang selanjutnya dijual lagi ke industri pengolahan skala besar,” katanya.
Data dari Dinas Perdagangan setempat di Kabupaten Muna, sedikitnya ada 1000 kelompok usaha industri pengolahan mete. Sekitar 85 persen diantaranya masih merupakan pengelola industri yang mengunakan alat sederhana (tradisional).
Komentar
Posting Komentar